Berita Kupang, Asajabar.com – Terik matahari siang itu terasa teduh bagi Aveline (37), atau yang akrab disapa Mama Leticia. Dari teras rumah sederhananya di Desa Oebola Dalam, Kabupaten Kupang, ia tersenyum haru menatap bangunan bercat putih yang kini resmi menjadi miliknya. Rumah itu bukan sekadar tempat tinggal, melainkan simbol perubahan hidup yang diperolehnya melalui program Reforma Agraria Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui skema Redistribusi Tanah bagi eks pejuang Timor Timur (Timtim).
“Bahagia tentunya, Pak. Akhirnya bisa punya rumah dengan kepemilikan hak milik sendiri. Tanpa bayar, tanpa keluar biaya sedikit pun,” ujar Aveline dengan mata berkaca-kaca saat ditemui, Rabu (05/11/2025).
Kini, di halaman rumahnya berdiri sebuah kios kecil yang menjadi sumber penghasilan baru. Setelah bertahun-tahun hidup berpindah tanpa kepastian, Aveline bisa tinggal dengan tenang sekaligus membangun kemandirian ekonomi. “Peluang usahanya, Puji Tuhan, sudah mulai bermunculan di sini,” katanya penuh semangat.
Dari Ketidakpastian Menuju Kepemilikan
Sejak 1999, setelah peristiwa besar yang memisahkannya dari tanah kelahiran di Timor Timur, Aveline hidup berpindah-pindah. Ia dan keluarganya menumpang di lahan yang tak jelas statusnya—kadang di atas tanah warga, kadang di tanah pemerintah.
“Rumah sendiri, cuma tanahnya dengan orang,” kenang Aveline lirih. Setiap kali membangun rumah, ia sadar suatu hari bisa saja harus pergi lagi. Kini, dengan sertipikat hak milik di tangan, hidupnya perlahan berubah.
Harapan Baru bagi Eks Pejuang Timtim
Program Redistribusi Tanah dari Kementerian ATR/BPN memberi harapan baru bagi ratusan keluarga eks pejuang Timtim di Kabupaten Kupang. Tak hanya menyediakan lahan dengan kepemilikan sah, tetapi juga dilengkapi dengan rumah layak huni dan pendampingan ekonomi agar warga dapat hidup mandiri.
Hal serupa dirasakan Eugenio Jubito Lobo (30), generasi kedua keluarga pejuang eks Timtim. Setelah lebih dari dua dekade hidup di rumah-rumah darurat dan kamp pengungsian, kini ia memiliki tanah dan rumah atas nama pribadi.
“Dengan adanya program Redistribusi Tanah dan bantuan perumahan ini, saya bisa memiliki rumah dengan status hak milik. Dulu statusnya tidak ada kepastian—tanah yang kami duduki milik pemerintah, milik TNI. Sekarang sudah atas nama pribadi,” ungkap Eugenio.
Bagi Eugenio, kepemilikan rumah ini bukan hanya tentang tempat tinggal, tetapi juga bentuk penghargaan atas pengorbanan orang tuanya. “Saya sangat bersyukur. Di usia muda, belum berkeluarga, sudah punya rumah sendiri. Negara benar-benar menghargai jasa orang tua kami,” tuturnya sambil menatap halaman rumah barunya.
Tanah yang Menghidupkan
Kisah Aveline dan Eugenio menjadi bukti nyata bagaimana Reforma Agraria bukan sekadar soal sertipikat, melainkan tentang mengembalikan martabat dan menumbuhkan harapan.
Melalui redistribusi tanah, negara hadir menegakkan keadilan agraria dan memastikan setiap warga—terutama mereka yang pernah berjuang untuk negeri dapat hidup lebih layak dan berdaya di atas tanahnya sendiri.







