Berita Pangandaran, Asajabar.com – Sektor pariwisata merupakan tulang punggung Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pangandaran. Namun, dugaan kebocoran PAD kembali mencuat usai seorang oknum penarik retribusi wisata di Pantai Batu Hiu berinisial UN tertangkap tangan melakukan pungutan liar (pungli) terhadap wisatawan, dalam operasi gabungan yang dilakukan oleh Polres Pangandaran dan Pos Polisi Militer (PM) setempat.
Kasus tersebut kini ditangani oleh penyidik Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Pangandaran untuk proses hukum lebih lanjut. Peristiwa ini memicu perhatian publik, terutama karena muncul isu lanjutan terkait potensi kebocoran PAD dari sektor pengelolaan fasilitas umum, khususnya WC umum di kawasan pantai.
Satuan Tugas (Satgas) Jaga Lembur, yang dituding bertanggung jawab dalam isu tersebut, angkat bicara.
Ketua Satgas Jaga Lembur, Ade Sukanda alias Ade Entik, menegaskan bahwa tudingan tersebut tidak berdasar.
“Itu tidak benar dan perlu diklarifikasi supaya jelas,” ujarnya saat diwawancarai Asajabar.com, Kamis (10/7/2025).
Ade menjelaskan bahwa WC umum yang tersebar di sepanjang garis pantai Pangandaran dibangun melalui bantuan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Setelah diserahterimakan kepada Pemerintah Kabupaten Pangandaran, fasilitas tersebut kemudian dipercayakan pengelolaannya kepada Satgas Jaga Lembur.
“Tugas kami menjaga dan merawat fasilitas tersebut agar tetap bisa dimanfaatkan wisatawan. Ada sekitar 20 titik WC umum yang kuncinya dipegang Satgas,” jelasnya.
Menurut Ade, pengelolaan WC umum dilakukan berdasarkan hasil musyawarah bersama para pemangku kepentingan pariwisata. Pengelola ditunjuk dari warga sekitar lokasi fasilitas agar lebih mudah dalam pengawasan dan pemeliharaan.
“Misalnya, di wilayah Bulak Laut, pengelolanya adalah warga Bulak Laut. Mereka biasanya juga berdagang di sekitar WC dan sekaligus bertanggung jawab menjaga kebersihan,” katanya.
Ade membantah adanya pungutan resmi kepada pengguna WC.
Ia menjelaskan bahwa wisatawan yang memberikan uang kepada pengelola bukan karena diwajibkan, melainkan sebagai bentuk keikhlasan atau kadedeuh atas fasilitas yang bersih dan terawat.
“Tidak ada plang tarif. Kalau ada wisatawan memberi uang, itu bukan pembayaran, tapi bentuk apresiasi,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa biaya operasional, seperti penggantian mesin air atau perbaikan pintu yang rusak, berasal dari dana yang dikumpulkan sukarela oleh para pengelola, bukan dari kas Satgas Jaga Lembur.
“Sudah lebih dari lima kali kami kehilangan mesin Sanyo. Ada juga kerusakan karena karat atau dirusak tangan-tangan jahil. Itu semua ditangani langsung oleh para pengelola,” tambahnya.
Dinas Pariwisata Kabupaten Pangandaran, kata Ade, juga menyampaikan apresiasi atas keberadaan pengelola WC yang sangat membantu menjaga kebersihan dengan keterbatasan SDM dan anggaran pemerintah daerah.
Selain itu, para pengelola, pedagang lapak, hingga pedagang asongan tetap dikenakan retribusi kebersihan sebesar Rp 2.000 per hari oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (LHK), sebagai bentuk kontribusi terhadap PAD.
“Perlu dipahami, fasilitas WC umum dibangun untuk menunjang kenyamanan wisatawan, bukan untuk menarik PAD secara langsung. Pengelolaannya juga tidak menjadi sumber pendapatan yang masuk ke kas daerah,” pungkas Ade.
Penulis : M. Drajat
Editor : Tony