Berita Ciamis, Asajabar.com – Sebanyak 438 guru Raudhatul Athfal (RA) yang tergabung dalam Kelompok Kerja Raudhatul Athfal (KKRA) mengikuti Workshop Penyusunan Dokumen Kurikulum Madrasah dan Sosialisasi Pembelajaran Terintegrasi Deep Learning dan Kurikulum Berbasis Cinta Tahun Ajaran 2025/2026.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Persatuan Guru Madrasah Indonesia (PGMI) Kabupaten Ciamis dan berlangsung di MAN Darussalam Ciamis, Jumat (25/7/2025).
Ketua Pelaksana Workshop, E. Zenal Mutaqin, menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan memperkuat kapasitas tim pengembang kurikulum di setiap RA serta menyelaraskan panduan dokumen Kurikulum Berbasis Cinta yang baru saja diluncurkan oleh Kementerian Agama RI pada Kamis malam (24/7).
“Kurikulum Berbasis Cinta merupakan pendekatan baru dalam dunia pendidikan yang menanamkan nilai cinta, kebersamaan, dan tanggung jawab ekologis sejak usia dini,” jelas Zenal.
Meskipun sudah diluncurkan, Zenal mengakui implementasi kurikulum ini belum berjalan penuh di tingkat RA.
Ia menyebut bahwa proses adopsi akan dilakukan secara bertahap seiring pemahaman para guru terhadap substansi kurikulum.
“Kurikulum ini masih dalam tahap pengenalan. Kami belum menerapkannya secara menyeluruh. Namun, semangatnya sejalan dengan nilai-nilai yang selama ini sudah diterapkan di RA,” katanya.
Sementara itu, Ketua KKRA Ciamis, Lalis Lismaidah, menambahkan bahwa tantangan utama dalam penerapan Kurikulum Berbasis Cinta adalah aspek moderasi beragama, terutama dalam konteks toleransi antarumat beragama.
“Nilai cinta dalam kurikulum ini mendorong peserta didik dan guru untuk lebih terbuka dan toleran terhadap keberagaman, termasuk kunjungan atau gotong-royong lintas agama. Namun, ini tidak mudah karena sebagian guru masih memiliki kekhawatiran dalam menjalin interaksi lintas keyakinan,” ungkap Lalis.
Ia menyebutkan bahwa adanya anjuran untuk mengenalkan tempat ibadah agama lain kepada anak-anak bisa memicu kebingungan atau penolakan, terutama bagi guru atau orang tua yang memiliki pandangan keagamaan yang sangat kuat.
“Kami menyadari bahwa akidah setiap agama berbeda, namun kami berharap para guru dapat memahami bahwa pendidikan cinta ini bertujuan menanamkan semangat saling menghargai sejak dini, tanpa harus mengaburkan keyakinan masing-masing,” ujarnya.
Menurut Lalis, pelaksanaan kurikulum ini harus disesuaikan dengan konteks lokal dan kondisi psikologis peserta didik. Ia berharap guru-guru RA dapat menjadi agen transformasi nilai cinta dan toleransi yang seimbang dengan ajaran agama.
Workshop ini menjadi langkah awal penting dalam penyelarasan visi pendidikan yang tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga afektif dan spiritual. Para peserta antusias mengikuti materi yang diberikan, baik terkait dokumen kurikulum maupun strategi penerapan pembelajaran berbasis cinta dan deep learning.