Berita Ciamis, Asajabar.com – Kabupaten Ciamis masih menghadapi pekerjaan rumah besar dalam penanganan stunting. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024, prevalensi stunting di Ciamis tercatat sebesar 20,3 persen.
Meski turun dibanding tahun 2023 yang berada di angka 25,4 persen, penurunan sebesar 5,1 persen itu dinilai belum cukup signifikan. Pemerintah daerah menargetkan prevalensi stunting bisa ditekan hingga 14 persen pada 2025 sesuai target nasional.
Plt Kepala Bidang Keluarga Berencana, Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Ciamis, Dede Iyet Rohaeti, mengakui masih banyak keluarga berisiko stunting yang belum mendapat intervensi memadai.
“Memang penurunan kita belum optimal. Masih ada keluarga yang belum tersentuh program intervensi, padahal mereka rentan melahirkan anak stunting,” ujar Dede, Rabu (27/8/2025).
Dede menekankan, kondisi ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, tetapi juga membutuhkan dukungan desa dan masyarakat luas. Menurutnya, desa adalah pihak yang paling dekat dengan warga, sehingga memiliki peran strategis dalam mempercepat penurunan stunting.
“Program intervensi sering kali bersifat umum dan tidak selalu tepat sasaran. Karena itu, pendataan by name by address perlu diperkuat agar bantuan benar-benar menyentuh keluarga yang membutuhkan. Desa jangan hanya menunggu arahan dari atas, tetapi bisa bergerak sesuai kapasitasnya bersama lintas sektor,” jelasnya.
Ia menambahkan, intervensi bisa berupa edukasi gizi, dukungan kesehatan, hingga penguatan ekonomi keluarga. Bahkan, kolaborasi dengan masyarakat yang mampu (aghniya) dinilai penting untuk memperluas gotong royong dalam membantu keluarga rentan.
Untuk tahun 2025, DP2KBP3A Ciamis mengalokasikan anggaran sebesar Rp7,19 miliar untuk pencegahan dan penanganan stunting. Sebagian besar digunakan untuk operasional 2.841 Tenaga Pendamping Keluarga (TPK) yang tersebar di seluruh kabupaten.
TPK bertugas mendampingi keluarga berisiko, memberikan edukasi, hingga memastikan kesehatan ibu hamil, balita, dan remaja tetap terpantau. Namun, anggaran yang besar tidak otomatis menjamin keberhasilan, jika pendampingan hanya berhenti pada laporan administrasi.
“Sekarang kami tekankan agar pendampingan lebih nyata di lapangan, bukan sekadar laporan di aplikasi. TPK harus turun langsung dan memastikan perubahan perilaku keluarga,” tambah Dede.